Wednesday, August 31, 2016

September KinoProgram : 12 Tahun Munir, Venice Film Festival, BAFTA Shorts 2016, Mia Hansen-Love

September 2016 program 
View this email in your browser

September is here! 

Kinosaurus brings you a strong lineup kicking off with #12TahunMunir, films dedicated to Indonesian human rights advocate and lawyer Munir Said Thalib who was murdered on board a Garuda plane on his way to Amsterdam, on September 7, 2004. Also featured are films from  Indonesia in the Venice Film Festival and films by Mia Hansen-Love. Short film compilations have become a Kino-favorite, always bringing in a full house, and this month we feature Indonesian shorts as well as the BAFTA 2016 collection. Check out full details at www.kinosaurusjakarta.com.
See you soon at Kinosaurus! 

Download this program poster to print and stick on fridge!
Copyright © 2016 Kinosaurus, All rights reserved.
You are receiving this email because you signed up at kinosaurusjakarta.com or one of our events.

Our mailing address is:
Kinosaurus
Kemang Raya 8B
Jakarta 12730
Indonesia



KinoTalk: Behind the Scenes Restorasi "Tiga Dara" (1956)


Behind the scenes of Tiga Dara restoration! 
View this email in your browser
ItRestoration film Tiga Dara (Usmar Ismail, 1956) dikerjakan dalam format 4K oleh SA Films. Proses restorasi selama 17 bulan (2015-2016) mencakup tahap reparasi fisik, wet-gate scanning, dan film comparison di L'Immagine Ritrovata, Bologna dan tahap restorasi digital gambar dan suara hingga mastering di Render Digital Indonesia, Jakarta.

Sumber terbaik untuk restorasi film adalah negatif gambar dan suara. Untungnya, materi tersebut ada- lengkap, tersimpan di Sinematek Indonesia sehingga bisa direstorasi meskipun mengalami kerusakan fisik dan kimiawi yang cukup parah. Selain menghasilkan tayangan yang lebih jernih, proses restorasi ini juga menelurkan beberapa pertanyaan baru mengenai proses pembuatan film ini, yang tentunya mengundang penelitian lebih lanjut dan lebih luas.

Mari bertemu dan diskusi dengan mereka yang berada dibalik upaya restorasi "Tiga Dara":
Lintang Gitomartoyo : Reparasi Fisik
Lisabona Rahman : Komparasi Materi
Taufiq Marhaban : Restorasi Digital Image
Windra Benjamin: Restorasi Digital Audio
Alex Sihar : Bisnis dan Pembiayaan Restorasi
melalui presentasi di Kinosaurus, Jumat, 2 September 2016, 19.00. **Gratis/tanpa biaya, mohon reservasi melalui info@kinosaurusjakarta.com.  
Saya ingin mendaftar ikut KinoTalk: Restorasi Tiga Dara (1956)!
Tiga Dara (Usmar Ismail, 1956) is a much loved classic in Indonesian cinema, and has recently been released in its beautifully restored version in theaters just in time to celebrate it's 60th anniversary! It is only the second film in Indonesian cinema history to be restored and viewed by the public, after Lewat Djam Malam (Usmar Ismail, 1954) which was screened as the opening of Cannes Classic in 2012. 

Hear fascinating details and stories about the painstaking process of restoration in a presentation from the team behind the effort which took place over 17 months, comprising of physical restoration and film comparison at  L'Immagine Ritrovata in Bologna and digital image and audio restoration at Render Digital Indonesia:
Lintang Gitomartoyo (Physical Restoration). 
Lisabona Rahman (Film Comparison)
Taufiq Marhaban (Digital Image Restoration)
Benjamin Windra (Digital Audio Restoration)
Alex Sihar  (Financing and Business of Restoration) 
at Kinosaurus, Friday, 2 September 2016, 19.00. **Free of charge, please reserve your seat at info@kinosaurusjakarta.com

 
I'd like to attend this KinoTalk on the Restoration of Tiga Dara (1956)!
Copyright © 2016 Kinosaurus, All rights reserved.
You are receiving this email because you signed up at kinosaurusjakarta.com or one of our events.

Our mailing address is:
Kinosaurus
Kemang Raya 8B
Jakarta 12730
Indonesia


Monday, August 29, 2016

[kelola] Pertunjukan Hibah Cipta Perempuan, Brantarara, Cahwati



Cahwati sebagai koreografer mencipta karya berangkat dari tafsir cerita di Banyumas. Konsep tari yang ia tawarkan merupakan tari garapan baru yang menempatkan ragam gerak tradisi tari Banyumasan sebagai sumber. Warna-warna opera dengan gerak tari dan vokal menjadi dasar garap pertunjukan.
...

Brantarara

Pada sebuah kisah, kerajaan Nusatembini di Cilacap memiliki raja bernama Brantarara, seorang putri cantik, juga menjadi prajurit yang tegas. Brantarara memiliki kendaraan berupa Jaran Sembrani, seekor kuda bersayap. Kerajaan Nusatembini terlindungi karena perlindungan benteng bambu ori berlapis tujuh yang mengelilinginya.

Kabar kecantikan Brantarara dan kesaktian air mata kuda Sembrani menarik maksud para pangeran luar Nusatembini untuk datang. Semua usaha melamar Brantarara atau meminta air mata Jaran Sembrani tak pernah diterima. Sampai akhirnya tentara Pajajaran yang dipimpin Arya Tilandanu datang untuk meminta paksa air mata Sembrani. Peperangan antara Nusatembini dan Pajajaran pun akhirnya terjadi.

Cahwati sebagai koreografer mencipta karya berangkat dari tafsir cerita di atas. Konsep tari yang ia tawarkan merupakan tari garapan baru yang menempatkan ragam gerak tradisi tari Banyumasan sebagai sumber. Warna-warna opera dengan gerak tari dan vokal menjadi dasar garap pertunjukan. Beberapa unsur pertunjukan seperti monolog dan wayang dilibatkan sebagai bagian penggarapan visual. Dengan kata lain, pada garapan ini terdapat sebuah pertunjukan gabungan dari beberapa elemen: tari, musik, teater, dan wayang.

Pada gagasan kreatif ini, Cahwati bekerja sama dengan Sri Waluyo sebagai komposer dan Sigit Purwanto sebagai konseptor.

Pertunjukan tari ini akan berlangsung di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah pada hari Rabu, 31 Agustus 2016. Pertunjukan berlangsung dua kali pada hari yang sama, pukul 16:00 wib dan 19:30 wib.

Pentas ini merupakan bagian dari Hibah Cipta Perempuan Kelola 2016 yang didukung oleh First State Investments dan Citi Indonesia.

Copyright © 2016 kelola, All rights reserved.
You are receiving this email because you opted in at our website : www.kelola.or.id

Our mailing address is:
kelola
Jl. H. Abdul Madjid no. 44 R, Cipete Selatan
Jakarta Selatan 12410
Indonesia


Pameran | Exhibition Co-Temporary: Artist Exchange



Ruang MES 56 Post
View this email in your browser

Pameran / Exhibition

 

Co-Temporary: Artist Exchange

 

Seniman/Artists:
Anang Saptoto
Lo Shih-Tung
Shih Pei-Chun
Yudha Kusuma Putera

Pembukaan / Opening


Kamis | Thursday
1 September 2016 | 1st September 2016
19.00 WIB | 7 pm

Pameran | Exhibition

2 September - 8 September 2016 |
2nd September - 8th September 2016


 

Tempat / Venue

Jogja Contemporary 

Kompleks Jogja National Museum
Jalan Prof. Ki Amri Yahya No. 1, Yogyakarta

Buka: Selasa – Sabtu, 10.00 – 17.00 WIB 
Open: Tuesday – Saturday, 10 am – 5 pm

 

Dua berita peristiwa muncul selama program pertukaran OCAC dan Ruang MES 56 berlangsung: 

Di hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo mengungkapkan dalam pidato upacaranya bahwa "Indonesia tetap aktif terlibat dalam resolusi konflik di Laut Cina Selatan melalui perundingan damai". Pada saat yang bersamaan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti meledakkan 71 kapal asing yang disita di Kepulauan Natuna, angka yang sama dengan umur kemerdekaan Republik Indonesia. Kejadian ini membuat kebanyakan warga Vietman dan beberapa warga Tionghoa mengekspresikan tekad untuk "melindungi kedaulatan nasional dan integritas teritorial mereka" .

Belum lama ini, presiden baru Taiwan, Tsai Ing-Wen telah mengirimkan sebuah kapal perang setelah "Arbitrase Laut Cina Selatan". Tindakan ini dipertanyakan oleh pihak yang berlawanan sebagai sesuatu yang tidak memadai dalam mempertahankan posisi mereka, dan menyarankan Tsai Ing-Wen untuk menginjakkan kaki di Pulau Taiping dan mendeklarasikan kedaulatan, serta memulihkan kembali stasiun Angkatan Laut di pulau tersebut. Langkah ini tampaknya merupakan awal dari perlombaan senjata yang tak terhindarkan, sebuah perlombaan antar kedaulatan nasional, integritas wilayah, begitu pula perlombaan dalam memperebutkan minyak, gas alam, dan sumber daya perikanan di zona ekonomi, yang juga merupakan bagian dari geopolitik di Asia Tenggara. Meskipun demikian, kami masih ingat "Kebijakan Baru Southward" yang diproklamasikan oleh Presiden Tsai dalam pidato pengukuhannya. Tujuan utamanya adalah mempromosikan kerjasama antara Taiwan dengan ASEAN, Asia Selatan, Oceania, dan negara-negara lain, dalam aspek ekonomi, ilmu pengetahuan dan budaya, sumber daya bersama, bakat dan pasar, untuk menciptakan sebuah model kerjasama baru yang saling menguntungkan demi kesejahteraan umum.

Ketika kita melihat Laut Cina Selatan, terhampar sebuah wilayah yang dikelilingi Tionghoa (Cina), Taiwan, Filipina, Malaysia, Indonesia dan pulau-pulau lainnya, sebagai ruang untuk imajinasi dan pemahaman ekologi dalam kolektif dan berbagi. Berlawanan dengan perebutan wilayah antara negara-negara di Laut Cina Selatan, wilayah yang saling tumpang tindih menunjukkan bahwa kita tinggal dalam "kehidupan kontemporer", apakah yang diimajinasikan terhadap komunitas tetangga kita? Atas nama politik, ekonomi, dan budaya, kita mengharapkan komunikasi dan pemahaman bilateral dengan semangat utopia, tetapi akankah perluasan perbatasan dan pernyataan yang berulang terhadap area teritorial tanah (dan laut), mengarah pada jalur distopia?

Pameran berjudul Co-Temporary in merupakan presentasi hasil dari pertukaran proyek residensi antara OCAC dan Ruang MES 56, serta tema "Southeast Asia- Taiwan Forum on Art and Culture" yang diadakan pada awal bulan Juli. Proyek ini tak dapat hadir tanpa latar belakang peristiwa serta kerangka politik yang telah disebutkan sebelumnya. Di satu sisi, saat merencanakan tema proyek ini, kata "Co-Temporary" muncul karena kesalahan penulisan istilah "contemporary" pada desain publikasi OCAC yang kemudian justru memiliki makna yang lebih tepat dalam menyoal hubungan antar wilayah ini. Selain utopia/distopia, melalui pertukaran beragam ruang-ruang seni alternatif, kolektif seniman, proyek ini membentuk heterotopia sementara. Melalui perbedaan ruang dan dunia fisik, melalui pengalaman kreativitas kolektif artistik yang sementara dan invasif, menggambarkan landasan yang berkontradiksi dalam percakapan, atau kritik terhadap realitas umum. 

Jika lautan dan jalur laut merupakan sebuah simbol pertukaran dan imajinasi antara Taiwan dan Asia Tenggara, maka simbol pertukaran antara OCAC dan Ruang MES 56 adalah kapal yang Michel Foucault sebutkan dalam heteropia. Sebuah tempat non-tempat, pada satu sisi hidup sendiri di dunia ini, namun di sisi lain terbuka kepada lautan luas yang tak diketahui. Hal ini mengingatkan Lo Shih-Tung akan kolaborasi OCAC dengan seniman Thailand, Jiandyin pada pameran Thaitai: A Measure of Understanding. Ketika Ji bertanya "Apakah terhitung sebagai residensi juga jika pertukaran yang terjadi adalah melalui individu dan ruang seni independen seperti kita?", Shih-Tung menjawab "Mungkin sejenis residensi pribadi (private)". Ji ketika itu mungkin sedang mabuk dan salah mendengar Shih-Tung sehingga dia menimpali, "Ya, kita adalah residen bajak laut (pirate)!". Mungkin apa yang kita rancang ialah pertemuan antara bajak laut yang berkelana. Sekali lagi, pepatah lama oleh Michel Foucault, "Dalam peradaban tanpa kapal, mimpi pun mengering, pengintaian menggantikan petualangan, dan polisi menggantikan bajak laut".

Pameran ini menampilkan karya-karya hasil residensi dari Lo Shih-Tung, Shih Pei-Chun, Anang Saptoto dan Yudha Kusuma Putera. Shih Pei chun mengundang kita untuk melihat bagaimana kita memahami apa yang pantas dipertahankan dan dilihat, sementara Lo Shih-Tung membawa kita pada jatuh bangunnya misteri pasar. Hal ini mengantar kita kepada keingintahuan Anang Saptoto mengenai popularitas Kayu Indonesia di Taiwan dan kisah-kisah yang menyertainya sebagai benda yang berpindah-pindah dalam ruang-ruang domestik. Yudha Kusuma Putera menarik kita kepada keheningan situasi ekonomi yang carut-marut di lanskap urban melalui kehadiran tuna wisma di sekitar kita.

Two news events occurred during the OCAC and Ruang MES 56 exchange program:

During the Indonesia Independent's Day on the 17th August, Indonesia President Joko Widodo expressed in his ceremonial speech, "Indonesia continues to be actively involved in conflict resolution in the South China Sea through peaceful negotiations". During the same period of time Maritime Affairs and Fisheries Minister Susi Pudjiastuti blew up 71 impounded foreign vessels in the Natuna Islands, the same number as the years of independence in Indonesia, of which mostly Vietnamese but also a handful of Chinese to express determination to "protect its national sovereignty and territorial integrity".

Not long ago, Taiwan's new president Tsai Ing-Wen had boarded a South China Sea-bound warship after the "South China Sea arbitration". This act was questioned by the opposing party as inadequate in defending their position, suggesting Tsai Ing-Wen should set foot on the Taiping Island to declare sovereignty, and restore the navy stations on the island. This move seems to be in preparation of the inevitable future arms race, this is a race of national sovereignty, territorial integrity and also the race for the oil, natural gas, and fishery resources in the economic zone, which is also part of the geopolitics of the Southeast Asia. Nonetheless we still remember the "New Southward Policy" proclaimed in President Tsai's inaugural speech, of which its main objective is to promote cooperation between Taiwan, ASEAN, South Asia, Oceania and other countries, in aspects of economy, science and cultures, sharing resources, talents and markets, to create a brand new model of cooperation that is mutually beneficial toward a common prosperity.

When we take South China Sea, this region of sea that is surrounded by China, Taiwan, the Philippines, Malaysia and Indonesia and other islands, as the space for imagination and understanding of the ecology in collective and sharing. Then contrasted with the territorial claims of countries in the South China Sea, the overlapping territories suggests that we are living "life in the contemporary", what are the imaginations toward the community of our neighbors? In the name of political, economic, cultural, we expect for a bilateral communication and understanding in a utopian spirit, but will the expanding frontiers and repeated statements of territorial region of land (the sea), drive toward the dystopian path?

This exhibition titled Co-Temporary is the outcome presentation of the exchange residency project between OCAC and Ruang MES 56, and also the theme of the "Southeast Asia- Taiwan Forum on Art and Culture" held earlier in July. This project cannot be generated without the current event background and political framework mentioned earlier. On the other hand we also used a previous graphic design oversight that missed out the "n" resulting in "CO-Temporary" as the live event in contemporary, a temporarily short circuited term that is used as the title of the exhibition. Other than utopia/dystopia, through the exchange of different alternative art spaces, artist collectives, members, a temporary heterotopia will be formed. Through contrast of this space and the physical world, through the temporarily, intensive, collective artistic creativity experience, depicting the counteracting cornerstone in conversation, contrast or criticism toward the mainstream reality.

If the ocean and sea route is a symbol of the exchange and imagination between Taiwan and Southeast Asia, then the symbol of exchange between OCAC and Ruang MES 56 is the boat Michel Foucault mentioned in heterotopia! A place of non-place, on one hand, alone in the world, on the other hand opening up toward the vast unknown ocean. This reminds Shih-Tung Lo when OCAC was collobarating with Thai artist Jiandyin in Thaitai : A measure of Understanding exhibition. When Ji asked "Does it count as a residency when it is the exchange through individuals and independent art spaces such as us?" Shih-Tung replied, "It may be a type of private residency." Ji was probably drunk and misheard as he said, "Yes, we are pirate residency!" Perhaps, what we are mapping out, is the encounter between wandering pirates. Again, the old saying "In civilizations without boats, dreams dry up, espionage takes the place of adventure, and the police take the place of pirates" by Michel Foucault.

This exhibition is showcasing the works of Lo Shih-Tung, Shih Pei-Chun, Anang Saptoto and Yudha Kusuma Putera which are resulted from their residencies. Shih Pei-Chun invites us to see how we understand what is deserved to be preserved and seen, while Lo Shih-Tung brings us to the rise and fall of the mystery of mass hysterical market. This leads us to Anang Saptoto's curiosity about the popularity of Indonesian wood in Taiwan. Yudha Kusuma Putera drags us to the silent economic situation which is tangled in the urban landscape through the presence of homeless people among us.

 







Ruang MES 56 · Jalan Mangkuyudan 53 A, Yogyakarta · - · Yogyakarta 55124 · Indonesia