Monday, September 28, 2015

Yogya | Kamis, 1 Oktober 2015 | Book Discussion / Diskusi Buku




Ruang MES 56 Post
View this email in your browser

Book Discussion | Diskusi Buku

 

Seni, Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto 
Karya Michael Hauskeller

(Yogyakarta: Kanisius, 2015)


Pembicara | Speaker:
Wahyudin

Jadwal / Schedule


Kamis, 1 Oktober 2015 | Thursday, Oct 1 2015

Pukul 15.00 - 18.00 WIB | 5 – 6 pm

Tempat / Venue

Ruang MES 56

Jalan Mangkuyudan No. 53A, Yogyakarta


Buka tiap hari / Open daily
12.00 — 21.00


Hari Minggu & Senin tutup / Sunday & Monday closed

"Apa itu seni?" adalah pertanyaan sederhana, tapi belum sudah terjawab. Sejak zaman Yunani klasik, pada sebelum Masehi, hingga zaman posmodernisme di abad ke-21, para filsuf telah berikhtiar penuh seluruh menjawabnya. Tapi, jawaban mereka tak lebih dari percobaan intelektual sementara yang memperlihatkan kemustalihan menemukan jawaban tunggal atas pertanyaan tersebut. 

Seturut buku Michael Hauskeller  Seni, Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto (Yogyakarta: Kanisius, 2015), evolusi pemikiran estetika berkembang dengan persetujuan dan penolakan, dengan sabur-limbur dan tambal-sulam, yang justru menunjukkan pentingnya posisi seni di alam pikiran filsafat. Itu juga yang meyakinkan penghayat filsafat bahwa "apa itu seni?" tak dapat diringkus-rampung dalam satu jawaban, pengertian, atau definisi.    

Tapi itulah amal jariyah para filsuf bagi dunia filsafat dan seni yang pantas kita diskusikan. Siapa tahu kita dengan pretensi intelektual cupul terhibur dan tercerdaskan dalam sepeminuman kopi. Apalagi jika kita bisa menerapkan, merekayasa atau menambahinya dengan penuh daya cipta dalam berseni rupa.   

"What is art?" Is a simple question, but has not been answered. Since the days of classical Greece, even Before Christ, until the age of postmodernism in the 21st century, philosophers have sought to complete the whole answer. But, their answer is not more than an intellectual experiment while showing the impossibility to find a single answer to that question.

In Michael Hauskeller's book: What Is Art? Aesthetics Position from Platon to Danto (Yogyakarta: Kanisius, 2015), the evolution of the aesthetic thinking evolved with the approval and rejection, randomly and overlappingly, which would then indicate the importance of the position of art in the minds of philosophy. It was also reassuring philosophers that "what is art?" It cannot be summarized in one answer, understanding or definition.

But that's the perpetual charity of the philosophers to the world of philosophy and art, that ought to be discussed. It would be great if our pretentious intellectual could be entertained and enlightened in a coffee break time length discussion. Or, if we could apply, manipulate or make creative addition to it in such inventive art.

 

 
Kontak / Contact
Ries  0818260134


Ruang MES 56
mes56post@gmail.com
www.mes56.com

                   






This email was sent to amir@sidharta-auctioneer.com
why did I get this?    unsubscribe from this list    update subscription preferences
Ruang MES 56 · Jalan Mangkuyudan 53 A, Yogyakarta · - · Yogyakarta 55124 · Indonesia

Email Marketing Powered by MailChimp

Saturday, September 26, 2015

[UNDANGAN] Pembukaan Pameran Titus Garu - Diana Harjanti Mahardhika: TRY TO EXPLAIN






Try To Explain

 

Pameran Duet│An Exhibition Of :

Titus Garu dan Diana Harjanti Mahardika

 

Organized by:

Museum dan Tanah Liat

 

Dikurasi Oleh │Curated By:

Bambang 'Toko' Witjaksono

 

Pengantar oleh | Foreword by

Hari Prajitno-MDTL

 

Pembukaan | Opening

Senin | Monday, 28 September 2015 | 19.30 wib

Pertunjukan Oleh │Special Performance by:

Emaneman Band & Mamahima

 

Pameran berlangsung hingga | Exhibition runs through

Selasa | Tuesday, 13 Oktober 2015

 

 

di | at

Jogja Contemporary

Komplek Jogja National Museum (JNM)

Jl. Ki Amri Yahya No. 1 Yogyakarta

 

Pameran Buka Setiap Hari Pada │ Exhibition Open Daily at:

10:00 WIB – 17:00 WIB

 

Reservation:

Ries (+62 818260134ries@jogjacontemporary.net)

Bara (+62 856 28 31147 / barahasti@gmail.com)



Rilis Media


Yogyakarta-Bertempat di Jogja contemporary yang beralamat di Komplek Jogja National Museum Jl. Ki Amri Yahya No. 1 Yogyakarta, Museum dan Tanah Liat kembali menggelar pameran. Kali ini merupakan pameran duet antara Titus Garu Himawan dan Diana Harjanti Mahardika yang bertajuk "Try To Explain".


Mengapa "Try To Explain" ? "Lewat pameran inilah kedua perupa mencoba menjelaskan posisi mereka, terutama posisi serta kesadaran mereka sebagai seniman muda yang mulai menapaki proses dalam jagad seni rupa dewasa ini" jelas kurator Pameran Bambang 'Toko' Witjaksono. Mengingat kedua perupa tersebut masih tercatat sebagai mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga telah memilki peran dalam kehidupan rumah tangga karena sama sama telah menikah (Titus sudah menikah dengan Dita dan Diana sudah menikah dengan Trias).


Titus yang merupakan mahasiswa Jurusan Seni Kriya Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta ini juga bergabung dan aktif dalam Prison Art Programs adalah seorang perupa yang sangat spontan dalam berkarya, tidak bergantung kepada material karya. Kegemarannya adalah memunguti benda-benda unik tak terpakai atau membeli mainan anak-anak yang kemudian ia preteli dan ia rangkai kembali, ia warnai, ia tambahi hingga lahir bentuk baru. Ketika sibuk menggabungkan benda-benda temuannya tersebut, Titus masuk dalam alam imajinasinya, alam kebebasannya. Kemudian ketika karya tersebut selesai, barulah ia putuskan pengemasan karya tersebut.


Pada pameran "Try To Explain" kali ini, Titus menghadirkan 22 karya dua dimensi lukisan di atas kanvas, drawing di atas lembaran karton, jahitan benang pada kertas serta cat semprot dan kolase di atas lembaran akrilik.

"Hampir senada dengan Titus, Diana juga senang untuk merangkai bentuk dari berbagai material, namun benda/material ini bukan barang bekas. Material yang selama ini mempunyai fungsi lain, ia jadikan bahan untuk membuat karya" jelas Bambang Toko.


Diana menghadirkan 7 karya tiga dimensi dengan material dakron, kain, NYA wire, kayu jati, akrilik, stocking, kayu kelapa, resin, pecahan kaca, dan sponge. Dalam berkarya, Diana sangat dipengaruhi oleh buku-buku cerita anak-anak. Pengaruh visual karya-karya Diana paling banyak ia dapatkan dari ilustrator Quentin Blake. "Aku seorang penggemar berat otak, karena otak merupakan keajaiban yang luar biasa" terang Diana. "Bagiku berkarya adalah memberi makanan pada otak" lanjutnya.


Selain persamaan latar belakang sebagai mahasiswa yang telah berumah tangga serta kegemaran merangkai bentuk dan mengeksplorasi material, lewat pameran "Try To Explain" yang akan dibuka pada Senin 28/09/15 pukul 19:30 WIB ini baik Titus maupun Diana dalam catatan kuratorial Bambang Toko seakan berada pada posisi transisi; posisi yang membuat galau : antara masa muda yang bebas dan masa sesudah menikah yang sering dikonotasikan sebagai masa kemapanan.




--
____________________
Rismilliana Wijayanti

Exhibitions:
TRY TO EXPLAIN
DH. Mahardhika & Titus Garu Himawan
28 Sept - 13 Okt 2015

Mailing Address:
Kompleks Jogja National Museum
Jl. Prof Ki Amri Yahya no 1, Gampingan
Yogyakarta 55167
Indonesia

Open: Monday - Saturday 10.00 - 17.00




Thursday, September 24, 2015

Yogya | Jumat, 25 September 2015 | Festival Musik Kampus “Berani Jujur”

Yth:
Rekan2 seniman dan akademisi Indonesia di manapun berada

Dengan hormat,
Kami Sekretariat Bersama Seni Indonesia Berkabung mengundang Anda semua menghadiri dan bergabung dalam acara Festival Musik Kampus "Berani Jujur" pada:
               Jumat, 25 September 2015, Pukul 19.30 – 22.00 WIB
               Di PKKH UGM – Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri, Yogya

Rangkaian acara Festival Musik Kampus adalah pembacaan Deklarasi Bulaksumur dan Pralaya Matra (Seni Buang Sial). "Berani Jujur" Festival Musik dan seluruh rangkaiannya adalah cara mengingatkan diri sendiri sebagai seniman dan akademisi agar tidak asik dengan diri sendiri.

Acara ini merupakan bagian dari Proyek Seni Indonesia Berkabung yang digagas oleh gabungan akademisi dari Universitas Sanata Dharma, Institut Seni Indonesia, Universitas Duta Wacana, Universitas Gadjah Mada, dan seniman Yogyakarta, adalah serangkaian kegiatan seni beragam bidang dan seminar yang diselenggarakan untuk mengkritisi situasi sosial dan politik yang terjadi di Indonesia saat ini. PROYEK SENI INDONESIA BERKABUNG akan dilangsungkan dalam kurun 6 bulan terhitung mulai Juli sampai Desember 2015.

Di bawah ini naskah deklarasi yang akan kita baca bersama-sama pada Festival Musik Kampus "Berani Jujur", (Jumat 25 September 2015, pukul 19.30 WIB), berurutan dengan Pralaya Matra (Seni Buang Sial) Ngakan Ardana, yang sekaligus menjadi penanda penutupan pameran senirupa "Duh Gusti".

Deklarasi Bulaksumur

1. Para pemimpin lembaga negara dalam mengambil keputusan, jangan mengikatkan diri pada kepentingan apapun selain pada rakyat dan hati nurani;

2. KPK harus tetap menjadi lembaga independen dan menjadi ujung tombak dalam memberantas korupsi di Indonesia;

3. Seniman dan akademisi jangan hanya sibuk dengan estetika, subjektivitas, soal-soal keilmuan dan kemapanan status, tapi harus responsif terhadap persoalan kehidupan yang mengancam kepentingan rakyat dan kehidupan bersama.

Demikian undangan, atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih sebelumnya.

Hormat kami,
Yustina Neni / Sekretaris

Wednesday, September 23, 2015

Jakarta | 1 – 4 Oktober 2015 | AGSI Artsy Weekend

Asosiasi Galeri Seni Rupa Indonesia (AGSI) mengundang Bapak/Ibu dan
rekan-rekan untuk hadir dalam acara :

AGSI ARTSY WEEKEND

Acara Berlangsung
1 – 4 Oktober 2015
Edwin's Gallery
Jl. Kemang Raya 21, Jakarta Selatan 12730.
Detail program acara dapat dilihat dalam undangan..

Yogyakarta 23 September 2015 | German Season / Encounters #2 | Cemeti Art House



View this email in your browser
German Season / Encounters #2
Papermoon Puppet Theater meets Retrofuturisten

Wednesday, 23 September 2015 | 7.00 PM
Cemeti Art House
Jl. D.I. Panjaitan 41 Yogyakarta

jermanfest.com
deutschesaison.com

Papermoon Puppet Theater is Indonesia's most well-known contemporary puppet theater based in Yogyakarta. Retrofuturisten is an independent puppet theater collective from Berlin, whose members came together in 2011 during their studies at the renowned Ernst Busch Academy of Dramatic Art. Both groups have teamed up and developed together a co-production that focuses on the topic of "borders": "SENLIMA" will be shown at PKKH UGM (Jl. Pancasila, Bulaksumur, Yogyakarta) on 1st October 2015 at 6 pm and 8:30 pm and on 4 October 2015 at Salihara (Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta), please have a look at the trailer: https://www.youtube.com/watch?v=JLkJDWtNfLA

During several phases in Germany and Indonesia, the artists have exchanged ideas about their respective countries, about politics and religion but of course also about the different theater and puppet traditions. For the co-production, they probed the topic "borders" as a cultural, linguistic, geographical, religious as well as an ideological phenomenon. Where and why are borders drawn, where is it difficult to define these borders, where do people fight for borders and why are borders so crucial for establishing an identity? The result of the research and creative process is a fascinating co-production that has the handwriting of both groups.

Join our artist talk on 23 September 2015, were the team will share their experiences in the creative working process, the development of the topic and, of course, how they overcame all the "borders" between them.

This will be the second event of German Season/ Encounters – a series of discussions presented at Cemeti Art House.

At the initiative of the German Ministry of Foreign Affairs, the German Season will be held for three months in cooperation with the Goethe-Institut Indonesien, the German Embassy in Jakarta and the German-Indonesian Chamber of Industry and Commerce (EKONID) in major cities all over Indonesia. 

For more information please click: germanseason.com 
 

---

German Season / Encounters #2
Papermoon
 bertemu Retrofuturisten

Rabu, 23 September 2015 | 19.00
Rumah Seni Cemeti
Jl. D.I. Panjaitan 41 Yogyakarta

jermanfest.com
deutschesaison.com


Papermoon Puppet Theater adalah teater boneka kontemporer ternama di Indonesia yang berasal dari Yogyakarta. Retrofuturisten adalah sebuah kolektif teater boneka independen dari Berlin yang terbentuk pada tahun 2011 saat para anggotanya masih kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama yaitu Ernst Busch Academy of Dramatic Art. Kedua kelompok teater ini membentuk tim dan bersama-sama mengembangkan sebuah ko-produksi yang memfokuskan pada topik mengenai "perbatasan" yang berjudul "SENLIMA" dan akan dipertunjukkan di PKKH UGM (Jl. Pancasila, Bulaksumur, Yogyakarta) pada tanggal 1 Oktober 2015, pukul 18.00 dan 20.30 dan pada tanggal 4 Oktober 2015 di Salihara (Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta). Silakan melihat trailernya disini:  https://www.youtube.com/watch?v=JLkJDWtNfLA.
Selama beberapa tahap di Jerman dan Indonesia, para seniman saling bertukar gagasan mengenai negara masing-masing, mengenai politik dan agama, selain tentu saja mengenai berbagai macam teater dan tradisi wayang. Untuk ko-produksi ini, mereka menggali topik "perbatasan" sebagai fenomena kultural, linguistik, geografis, keagamaan, demikian juga ideologis. Dimana dan mengapa perbatasan ditarik, dimana letak kesulitan untuk mendefinisikan perbatasan-perbatasan ini, dimana orang-orang memperjuangkan perbatasan dan mengapa perbatasan dianggap sangat penting dalam membangun sebuah identitas? Hasil dari penelitian dan proses kreatif ini menciptakan sebuah ko-produksi mempesona yang memiliki ciri khas dari kedua kelompok teater ini
Mari bergabung dalam bincang seniman pada tanggal 23 September 2015, dimana kedua tim akan membagikan pengalaman mereka dalam proses kerja kreatif, pengembangan topik, dan tentu saja bagaimana mereka mengatasi seluruh "perbatasan" diantara mereka.
 
Program ini adalah acara kedua dari German Season/Encounters – sebuah rangkaian diskusi yang disajikan di Rumah Seni Cemeti.
 
Atas inisiatif Kementrian Luar Negeri Jerman, program German Season akan diadakan selama tiga bulan bekerja sama dengan Goethe-Institut Indonesien, Kedutaan Besar Jerman di Jakarta dan Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman (EKONID) di kota-kota besar di Indonesia.
 
 Informasi lebih lanjut silakan periksa laman ini: germanseason.com 
  
Copyright © 2015 Cemeti Art House, All rights reserved.

Cemeti Art House / Rumah Seni Cemeti
Jl. D.I. Panjaitan 41, Yogyakarta 55143
Open: 09.00 - 17.00, Closed on Sunday & Monday
Telp/Fax. +62 (0) 274 371015
M. +62 (0) 812 273 3564

Anggota Koalisi Seni Indonesia / Member of the Indonesian Arts Coalition
www.koalisiseni.or.id

Share
Tweet
Forward






This email was sent to senirupa@gmail.com
why did I get this?    unsubscribe from this list    update subscription preferences
Cemeti Art House · Jl. D.I. Panjaitan 41 · Yogyakarta 55143 · Indonesia

Email Marketing Powered by MailChimp

Yogyakarta | 29-30 September 2015 | Workshop Seni Protes | di RumahIVAA







Workshop Seni Protes

Mengapa kita harus protes?
Mei 2015 lalu seorang demonstran peringatan hari buruh membakar diri dan melompat dari atap gedung utama Stadion GBK, Jakarta. Kemudian apa yang terjadi? Berita ini muncul sesekali untuk mengagetkan para pembaca berita, namun tak memberikan perubahan apapun terhadap regulasi pihak korporasi untuk kaum buruh yang dia perjuangan, atau bahkan cara pandang kita terhadap kaum buruh.

Workshop Seni Protes mengajak kita lebih kritis mengamati bagaimana sebenarnya keadaan kita saat ini? Apakah kita masih perlu melakukan protes? Kalaupun ternyata perlu, siapa yang seharusnya diprotes? Lebih jauh lagi, dengan cara bagaimana kita melakukan protes?

Workshop ini tidak membatasi latar belakang Anda karena protes dapat dilakukan dengan cara apa saja.

Dalam workshop ini kami turut mengundang rekan-rekan muda yang masing-masing aktif dalam bidang dan aspek-aspek yang dikritisinya, antara lain: Ketjil Bergerak (Yogya), Imam Bucah (Rembang), rekan-rekan WALHI (Jawa Barat), Komunitas Taring Babi (Jakarta), I Made Bayak (Bali), Anang Nasichudin (Yogya), Komunitas Gumuk Pasir (Yogya), HONFoundation (Yogya), Kaleidoskop 2015 (Yogya), Taring Padi (Yogya), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, TRITURA (Yogya), Sebumi, Hysteria (Semarang), Orart Oret (Semarang), Greenpeace Indonesia, Rolly Love Hate Love (Yogya), Digie Sigit (Yogya), SAPU Salatiga, LGN, dll. 

Penyelenggaraan
29-30 September 2015
Pukul 10.00 - 17.00 WIB (selama 2 hari)
di RumahIVAA, Jl. Ireda, Gang Hiperkes, MGI/188A-B, Dipowinatan, Keparakan, Yogyakarta

Pengampu
Arahmaiani (Seniman)
Iwan Wijono (Seniman)

Cara Mendaftar
Mengisi Formulir Online berikut: https://goo.gl/juw2YJ
Pendaftaran dibuka hingga 28 September 2015, pukul 12.00 WIB

Workshop Seni Protes akan berlangsung selama 2 (dua) hari.
Bagi peserta yang mengikuti workshop hingga selesai, akan disediakan sertifikat (lembar tanda keikutsertaan). 
Biaya Pendaftaran sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

Alamat Pembayaran
BCA 4450992785 a.n. Santosa, atau membayar langsung ke RumahIVAA.
Pembayaran selambat-lambatnya 28 September 2015, pukul 12.00 WIB

Narahubung
081977184678 (Ms. Sukma)

INDONESIAN VISUAL ART ARCHIVE (IVAA)
Jl. Ireda, Gg. Hiperkes, Dipowinatan, MG1/ 188 A-B,
Keparakan, Yogyakarta 55152 INDONESIA See on maps
Opens Monday-Friday, 9:00AM-5:00PM

--
Untuk menyelenggarakan acara di RumahIVAA klik tautan ini 

--
Berhenti menerima kabar dari IVAA unsubscribe







Bandung | 25 September 2015 | Perayaan Ide: 50 Tahun Mata Hitam Jeihan

Perayaan Ide: 50 Tahun Mata Hitam Jeihan
Sabtu, 25 September 2015
Studio Jeihan
Jl. Padasauka 143-145 Pasirlayung
Bandung




Mata Hitam Jeihan
Oleh Mikke Susanto

Tatkala melukis, saya melihat wajahnya begitu serius. Tangannya, dengan

memegang kuas aneka ukuran, bergerak dinamis. Secara bersamaan mulutnya pun

terkatup, kuat, sukar untuk ditembus. Matanya sering terlihat mengecil, sesekali

terpejam, seperti ingin mengaburkan pandangan. Bulu matanya membuat matanya

menjadi hanya segaris. Di balik kacamatanya yang tebal, alisnya
menyatu, serasa ingin

menembus dan menguasai objek. Cepat sekali ia bergerak, tak lebih dari
15 menit saja,

lukisan berukuran 80x80 cm, hitam putih, dituai.

"Sudah, lihat, bagus nggak Mikke?" begitu ungkapnya. Baru kemudian tampak

mulut Jeihan melebar, tersenyum. Itulah sekelebat kesan saat saya sebagai objek

lukisannya, di akhir Agustus 2015 lalu.

Penanda Temuan

Jeihan dikenal sebagai pelukis potret manusia bermata hitam. Ide ini lahir

karena kebetulan. Mata hitam yang ditorehkannya pada figur diakuinya
sebagai hasil

dari kegagalannya melukis mata yang seharusnya dikerjakan secara
realistik. Sekira

1963-65, dari beberapa lukisan yang seharusnya bermata tajam dan bening, berubah

karena emosinya yang meninggi, ditorehkan begitu saja warna hitam
legam tanpa sisa

warna putih dan kebeningan.

Jika melacak sejarah lukisan-lukisannya, terdapat dua lukisan pengawal yang

menjadi pondasi dalam pameran ini. Pertama lukisan bertajuk Diri Sendiri (1963).

Kedua lukisan berjudul Gadis (1965).

Lukisan Diri Sendiri dapat saja menjadi peletak dasar dalam pameran ini, karena

di dalamnya tergambar potret Jeihan tengah berdiri dengan latar belakang lanskap

sederhana. Dengan menggunakan kaos oblong dan bersarung, berlatar bidang warna

kuning matang ia menggambarkan dirinya sendiri. Matanya terlukiskan hitam total,

tergambar hanya segaris. Sayangnya, interpretasi mengenai topik mata hitam dalam

lukisan ini tidak terasa dominan.

Adapun lukisan Gadis tampak lebih kuat. Ia melukis wajah seorang gadis,

dengan mata hitam. Warna oranye pada latar, coklat pada wajah, dan putih

kekuningan pada baju adalah harmonisasi yang ditampakkan sebagai
pesona, sekaligus

kajian utama. Jeihan tampaknya merasa lebih cocok menggunakan lukisan
ini sebagai

momentum "ditemukannya" mata hitam.

Mamannoor, dalam bukunya, Jeihan, Jeihan, Jeihan, menulis bahwa tahun

1963-1974 adalah momen penemuan diri Jeihan, yakni berupa bidang warna yang

bersifat datar dan mata hitam. Hal ini ditengarai dengan lukisan Gadis
itu. Meskipun

pada masa setelahnya Jeihan masih melukis mata bening manusia,
diantaranya lukisan

berjudul Bapakku (1974) dan Wajah Sutardji (1977).

Sejak saat itu, Jeihan merasa menemukan dirinya sendiri. Ia mengasahnya

tanpa kenal waktu. Lembar demi lembar kanvas menjadi eksperimentasi teknik

sekaligus memaknai lelakunya sebagai seniman. Mata hitam itu kini menjadi

"petunjuk" atau isyarat tentang siapa aku (baik bagi Jeihan maupun
yang dilukisnya)

dan bagaimana diri sang figur telah diubah oleh Jeihan.

Mistifikasi

Sederhananya, dengan mata hitam personifikasi figur yang dilukisnya tidak lagi

menyimpan artikulasi yang sama dengan aslinya. Jika pelukis Basoeki
Abdullah sering

dikatakan saat melukis figur manusia menggunakan pendekatan beautifikasi, atau

berusaha untuk mempercantik dan memperindah realitas, maka Jeihan dengan mata

hitamnya, tengah melakukan mistifikasi.

Kedua pelukis ini percaya, bahwa seni bukan sekadar mimetik (tiruan alam)

atau merupakan gambaran realitas an sich. Keduanya konsisiten untuk
selalu percaya

bahwa di balik fenomena (alam) yang bersifat fisik memiliki tafsir dan
dimensi yang

lain. Mereka berdua adalah orang-orang yang amat konsisten menganutnya, meskipun

kritik dan stigma negatif sering diterimanya.

Dalam perspektif estetika, beautifikasi dan mistifikasi memiliki makna yang

paralel, berdekatan dan saling menunjang. Keduanya diartikulasi melebih-lebihkan

objek atau realitas aslinya. Perbedaannya terletak pada cara dan
metode yang dipakai

oleh keduanya. Beautifikasi adalah upaya untuk melampaui dari aspek
visual, seperti

goresan dan warna menjadi lebih terang dan halus. Mistifikasi dalam
konteks lukisan

Jeihan adalah sebuah gagasan untuk meletakkan objek/figur ke dalam dimensi non-

fisik, spiritual, ke arah mitologis dan kepercayaan khusus,
non-inderawi. "Esensi, itu

pokoknya," ungkap Jeihan.

Karenanya, pada saat figur telah dilukis, yang terasa bukan kepresisian atau

kecocokan fisik, tetapi lebih pada rekaman mitos dan mistis. Mata hitam telah

mengubah jati diri figur/realitas menjadi diri yang lain. Saat saya
dilukis pun akhirnya

menyadari bahwa hasil rekaman tersebut bukanlah saya yang terasakan
secara fisik.

Karya Jeihan berupa figur bermata hitam itu adalah "cerminan" yang
lain, nuansa yang

berbeda, dari realitas.

Di jalan kreatifnya, Jeihan sesungguhnya melukis figur yang tengah diam,

merenungi tatapan seorang yang tengah mengalami perjalanan dalam dimensi ruang

dan waktu yang luas. Ia pun melatari figur dalam lukisan-lukisannya
dengan bidang

yang sewarna atau hanya torehan hitam putih kasar.

Tampaknya benar dugaan saya, hampir semua lukisan figur bermata hitam,

tidak tampak ada senyuman, kemarahan atau gerak mulut dan mata yang berbeda

antara satu lukisan dengan lukisan lain. Semua sama, seperti
melukiskan tatapan mata

yang kosong. Tapi, benarkah itu tatapan kosong?

Berpuncak pada Nur

Kini, mata hitamnya dinisbatkan sebagai simbol ikonik Jeihan. Jelas bukan

tatapan kosong. Lukisan potret manusia bermata hitam adalah sikap hidup yang tak

mau tunduk dan terbuai atas realitas, referensi dan dominasi ideologi
yang ada saat

ini. Mata hitam adalah sikap untuk selalu melihat lebih dalam dan
lebih jauh. Seperti

lubang hitam (black hole) alam semesta, mata itu menelisik untuk
merefleksi hidup.

Mata hitam adalah sikap untuk selalu berimajinasi tentang banyaknya hal yang

tak mungkin digapai oleh mata terbuka dan jangkauan fisik manusia.
Bahkan pada saat

saya berbincang saat menjelang pameran tunggalnya di Museum Nasional Indonesia

2014, ia mendapatkan sebuah visi, bahwa mata hitam baginya adalah
sebuah realitas

masa depan. Jeihan menerawang dan menerangkan secara futurologis mata hitam

adalah hasil dari bentuk perubahan evolutif kondisi manusia.

Di masa depan, mata manusia tidak akan mampu bertahan menatap kehidupan

dunia atau jagat raya. Manusia harus menggunakan semacam "lensa kontak" yang

berwarna hitam, seperti kaca mata hitam yang kini banyak dipakai. Tak mungkin

dipungkiri bahwa realitas manusia bermata hitam telah menjadi bagian
dari visi masa

depan Jeihan, melalui sain dan estetik.

Mata hitam Jeihan berpuncak pada lukisan Nur (2014). Lukisan ini tidak sedang

melukiskan figur seperti lainnya. Lukisan ini hanya berupa untaian
kata dan huruf Arab

nun, wawu dan ro' berwarna putih. Huruf itu dilatari warna gelap pada
seluruh bidang

kanvas. Kata/huruf itu diletakkan pada bagian atas. Di bagian bawah
tertera namanya

sendiri, Jeihan.

Nur adalah manifestasi tentang perjalanan, tujuan dan makna hidup yang

hakiki. Nur adalah saripati yang dinamakan sebagai konsep hidup yang selama ini

dicari. Dari nur (cahaya) kehidupan bermula. Kala manusia mendapat
anugerah berupa

cahaya ia mampu menciptakan peradaban. Peradaban butuh manifestasi, yakni

perilaku. Perilaku membutuhkan etika. Etika membutuhkan petunjuk. Lalu
hadirlah nur

yang memberikan hidup manusia kelapangan dan keselarasan hidup. Dari Nur yang

ditera pada bagian atas kanvas, menuju ke bawah, terciptalah manusia
(nama Jeihan

adalah metafora dari kemanusiaan).

Gelap dan hitamnya mata bagi Jeihan adalah petunjuk tentang hakikah hidup:

Ujung peradaban: kebudayan

Ujung kebudayaan: kesenian

Puncak seni: puisi

Puncak puisi: filsafat

Puncak filsafat: sufi

Peringatan Ide

"Mata Hitam" itu telah berusia 50 tahun.

Jika ditelusuri secara historis, sampai saat ini belum ditemukan program atau

pameran maupun perayaan berbasis ide. Selama ini yang muncul adalah perayaan

yang bersifat biografis, ulang tahun kelahiran tubuh manusia dari
rahim ibu ke bumi.

Saya mengimajinasikan sejak lama muncul perayaan "Jiwa Ketok" Sudjojono, atau

perayaan teknik plototan gaya Affandi, sampai misalnya peringatan
tentang ide-ide

yang mengubah sejarah bangsa ini, baik dari para pejuang, pahlawan nasional dan

sebagainya.

"Mata Hitam" Jeihan adalah ide brilian. Ide tidak sekadar menjelaskan

persoalan kesenian, seni lukis atau sebidang persoalan saja. Ide ini meluas dan

menjangkau pada tataran nilai yang terkait dengan esensi hidup manusia. "Mata

hitam" Jeihan harus diakui sebagai menjadi kekayaan intelektual untuk
selalu berpikir,

merenung, merefleksi, dan meng-interpretasikan berbagai pelajaran bagi
seluruh anak

bangsa.

Jadi jelaslah bahwa "mata hitam" adalah ide masterpiece Jeihan yang perlu

dirayakan. +++

Friday, September 18, 2015

Yogyakarta | Jumat, 18 September 2015 | Proyek Seni Indonesia Berkabung: Pameran Seni Rupa "Duh Gusti"

Rangkaian Proyek Seni Indonesia Berkabung: Pameran Seni Rupa "Duh Gusti". Mari datang dan ramaikan malam pembukaan pameran, Jumat, 18 September 2015 Pkl. 19.30 bertempat di PKKH UGM.

Partisipan: Cahaya Negeri, Dito Yuwono, Elia Nurvista, Fajar Suharno, Ngakan Ardana, Pang Warman, Wimo Ambala Bayang.

Bawa barang yang kamu anggap bikin sial sebagai bagian dari karya.