| | Pembukaan Pameran & Presentasi Residensi Seniman Periode #1 2018 Ardi Gunawan Bridget Reweti Coco Duivenvoorde 23-31 Mei 2018 Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat Jl. D.I. Panjaitan 41, Yogyakarta Pembukaan: Rabu, 23 Mei 2018, jam 19.00 Diskusi: Rabu, 30 Mei 2018, jam 19.00 @cemeti.institute #cemetiresidency #maintenanceworks Rekan-rekan sekalian, Kami mengundang Anda untuk hadir dan bergabung dalam rangkaian pameran dan presentasi oleh tiga seniman residensi: Ardi Gunawan, Bridget Reweti, dan Coco Duivenvoorde. Selama bulan Maret hingga Mei, para seniman residensi tinggal dan mengembangkan gagasan mereka dengan dukungan dari Sita Dinanda sebagai asisten program bersama tim Cemeti. Pada minggu terakhir di bulan Mei ini, ketiga seniman akan menampilkan dan mempresentasikan proyek dan karya mereka. "Berapa luas tanah yang bisa diperoleh dengan uang sebesar Rp 11.500.000? Di mana lokasinya dan bagaimana bentuknya?" Pertanyaan ini menjadi premis dasar dalam penelitian yang dilakukan oleh Ardi Gunawan (Indonesia) selama masa residensinya di Cemeti. Berangkat dari perhatiannya pada isu gentrifikasi yang menggejala di kota-kota seperti Jakarta dan Yogyakarta, di mana paradigma lokasi strategis telah mengubah ekonomi wilayah dan produksi ruang hidup makin sempit dan padat, Ardi mengamati berbagai bentuk arsitektur modern/kontemporer kawasan hunian yang diciptakan oleh para perusahaan pengembang perumahan. Di tengah perjalanannya dalam mencari keterhubungan antara gagasan sosial dari arsitektur modernisme dengan spekulasi finansial ala perusahaan pengembang, Ardi menemukan komik ciptaan Heath Robinson dan Browne. Komik terbitan tahun 1937 ini berjudul "How to live in a flat" dan merupakan respon satir mereka terhadap perubahan tren domestik pada periode tersebut; kehadiran Modernisme Eropa di tengah perkembangan kelas menengah di Inggris yang stabil secara finansial. Terinspirasi oleh sketsa-sketsa humor dan satir dalam komik ini, Ardi mencoba mengkontekstualisasikannya ke dalam karyanya dengan cara mengembangkan rancangan komedi rumah huniannya sendiri untuk dibangun di atas tanah yang akan diperoleh dari uang sejumlah Rp 11.500.000 tersebut. Selama masa residensinya, Bridget Reweti (New Zealand) memusatkan perhatiannya dalam mencari keterhubungan antara konteksnya sendiri dan Jogja, yaitu dengan membuat teman baru dan dengan melakukan dua latihan artistik. Pertama dengan menyelami sebuah karakter yang berpengaruh dari dulu (dan sekarang) Maori menjadi kenangan, dan kedua dengan memperkenalkan dua gunung yang kuat kepada satu sama lain yang mungkin atau tidak pernah bertemu sebelumnya. Latihan pertama berkisar pada Tupaia (1725-1770), seorang pemimpin tertinggi aori yang berasal dari Tahiti. Ia adalah seorang ahli navigasi yang terampil dan diplomat, serta pandai berbicara dalam bahasa Maori. Dengan kecakapannya, Tupaia bergabung dengan kapten Cook yang berlayar melintasi Pasifik. Diingat dengan cara yang berbeda di banyak komunitas Pasifik, posisi Tupaia dianggap berpengaruh dalam sejarah ini. Tupaia meninggal di Batavia, kota yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan dimakamkan di sebuah kuburan tak bernama di Pulau Damar Besar yang terletak di lepas pantai Jawa. Sebagai cara untuk mengakui kematian Tupaia, Bridget memutuskan untuk berenang mengelilingi pulau itu, meletakkan tubuhnya di air yang mengalir di antara tanah pekuburan Tupaia yang juga merupakan tanah yang menghubungkan Tupaia dan Bridget, Indonesia dan Aotearoa, dulu dan sekarang. Latihan kedua adalah berjalan kaki di Gunung Merapi, salah satu gunung berapi paling aktif di dunia yang letaknya satu jam perjalanan ke utara Yogyakarta. Kehadiran Merapi yang kuat, baik secara fisik melalui aktivitas seismiknya dan kesuburannya, serta dalam pikiran orang-orang sebagai sebuah entitas yang menyediakan mata pencaharian sekaligus yang mampu merenggutnya, menghubungkannya dengan Mauao, sebuah gunung yang terdapat di kota asal Bridget di Tauranga yang dianggap sebagai leluhur Maori. Untuk presentasi ini, seluruh latihan ini dan percakapan yang sedang berlangsung akan ditangguhkan sementara untuk khalayak di Jogja. Sementara waktu dan ruang terus runtuh ke dalam realitas kehidupan sehari-hari yang berkelindan dan campur aduk. Coco Duivenvoorde (Belanda) memiliki minat yang berkelanjutan pada makanan dan memasak sebagai bahasa untuk mendiskusikan masalah sosial dalam berbagai konteks. Selama masa residensinya di Cemeti, Coco meneliti bahan-bahan, praktik, dan konteks sosial dari minuman tradisional Indonesia, Jamu. Jamu merupakan minuman herbal yang terbuat dari bahan alam yang digunakan sebagai pengobatan untuk penyakit ringan yang berkisar dari kosmetik, performa seksual, hingga kondisi medis yang serius. Budaya minum Jamu merupakan suatu praktik keseharian yang dimaksudkan untuk menjaga kesehatan tubuh dan jiwa yang baik. Coco memulai prosesnya dengan mempelajari cara membuat Jamu serta mengunjungi berbagai penjual Jamu di Jogja. Ia kemudian menghabiskan waktu dengan komunitas di sebuah desa yang memproduksi Jamu di Kiringan dan bertemu dengan akademisi yang khusus mempelajari aspek ekonomi, sosial, dan budaya dari Jamu. Untuk membangun penelitiannya, Coco akan menyelenggarakan rangkaian lokakarya yang menghubungkan berbagai individu dan komunitas yang ia temui. Melalui berbagai metode mendongeng, serta tindakan praktis, lokakarya ini akan mengumpulkan, menjaga dan mendistribusikan secara lebih lanjut pengetahuan (menubuh) dan mempertanyakan konteks infrastruktur sosial Jamu. Kami berharap anda dapat bergabung dalam pembukaan pameran yang akan berlangsung pada hari Rabu, 23 Mei 2018, jam 19.00 dan diskusi yang akan berlangsung pada hari Rabu, 30 Mei 2018, jam 19.00, di mana ketiga seniman residensi akan membagikan pengalaman residensi dan proses berkarya mereka. Salam, Agni, Alec, Dimaz, Linda, Sanne, Sarono, Wahyu (tim Cemeti) Silakan kunjungi situs web kami di tautan ini untuk menyimak aktivitas Cemeti secara lebih lanjut. | | Program Residensi Seniman Periode #1 2018 ini diselenggarakan oleh Cemeti dan didukung oleh Mondriaan Fund, Asia New Zealand Foundation, dan Unisadhuguna International College, Jakarta. | | Aktivitas selanjutnya di Cemeti: 1 September - 30 November 2018 Residensi Seniman Periode #2, bekerja sama dengan Goethe-Institute Indonesia Berlangsung sampai Maret 2018 Desain ulang identitas visual Cemeti dan situs web Cemeti oleh kolektif desainer TUHANTU | | | | | |
No comments:
Post a Comment