CRAFTMANTALK #2 Internasionalisme Seni: Antara penahbisan pusat atau sebagai ruang percakapan Pemantik: Adelina Luft (Kurator Seni Rupa) Hasan Basri (Lurah Pesantren Kaliopak) Waktu: Rabu, 19 Juli 2017 Pukul 15.00-18.00 Tempat: Galeri Lorong Jl. Nitiprayan –Dusun Jeblok RT. 01, Dukuh 3, Tortonirmolo, Kasihan Bantul Gagasan tentang internasionalisme seni disebut sulit dilepaskan dari pembicaraan tentang pusat dan pinggiran. Ia terkait dengan klasifikasi atau standar, dan perihal bagaimana sebuah praktik artistik bisa diakui atau masuk dalam arus dunia. Bagaimana standarisasi itu dibentuk? Siapa yang berwenang untuk menentukan batas-batasnya? Untuk melihat praktik seperti apa yang menjadi standar, kadangkala orang hanya menunjuk pada aneka perhelatan besar dunia semacam Documenta atau Venesia Biennale–, serta museum/galeri terkemuka di Barat (USA-Eropa) untuk dikunjungi. Dalam berbagai kajian, model internasionalisme yang demikian (old internationalism), dipandang sekadar mengafirmasi superioritas atau kanon Barat. Sejumlah respon bermunculan, baik dari dunia Barat itu sendiri maupun kawasan-kawasan non-Barat. "New internationalism", misalnya, hadir untuk menggantikan gagasan tentang internasionalisme lama yang dipandang berstandar ganda karena memosisikan seni non-Barat secara sub-ordinat, yang karya-karyanya sekadar dinilai sebagai "heritage" dan hanya layak dipamerkan di museum-museum etnografi. Adapun dari dunia non-Barat, salah satunya berupaya mengonsolidasikan diri melalui aliansi Selatan-Selatan, yang baik sebagai diskursus maupun praktik, melawan dominasi kanon Barat. Dimulai dari Sao Paolo Biennale pada 1951 hingga sejumlah perhelatan serupa sampai pada akhir 1980an. Pada perkembangan selanjutnya, pasca-1989 hingga era 2000an, kita bisa melihat model relasi yang lebih baru. Diklaim baru karena batas antara "pusat" dan "pinggiran", kendati masih bisa diperdebatkan, dibayangkan telah retas. Perhelatan-perhelatan berformat biennale yang berskala internasional bermunculan di kawasan-kawasan non-Barat. Di Indonesia sendiri, ada dua (dari lima) biennale yang berformat biennale internasional, yakni Biennale Jakarta dan Jogja. Tentu saja masing-masing biennale internasional tersebut punya imajinasi yang berbeda dalam memandang "internasionalisme". Biennale Jogja, misalnya, sejak 2011 mengeksplorasi gagasan tentang khatulistiwa (equator) sebagai platform kerjanya. Melalui platform itu, Biennale Jogja secara eksklusif berupaya menjalin kerja sama dan ruang percakapan dengan kawasan-kawasan yang dilalui garis khatulistiwa. Tentu saja pembicaraan tentang internasionalisme seni ini menarik untuk kita tilik lebih lanjut. Craftmantalk kali ini akan kita arahkan untuk mengulik soal-soal internasionalisme seni, baik sebagai wacana maupun praktiknya dalam perhelatan seni internasional semacam Biennale Jogja Equator. Untuk membicarakan hal tersebut, kami mengundang dua orang pemantik, Adelina Luft dan Hasan Basri. Pemantik pertama, Adelina Luft, baru-baru ini menyelesaikan tesisnya yang mengangkat soal internasionalisasi dan titik balik wacana (discursive turn) dalam Biennale Jogja Equator. Adel kurang lebih akan mengantar kita untuk membayangkan tentang internasionalisme seni secara umum dan antinominya melalui praktik seni atau "biennale-biennale pinggiran". Pemantik kedua, Hasan Basri, akan menjadi pembanding sekaligus kita harapkan bisa memberikan pembacaan yang kritis terhadap gagasan atau praktik internasionalisme/internasionalisasi seni saat ini. Email: galerilorong@gmail.com |
No comments:
Post a Comment