Bincang Sore RumahIVAA
Diskusik - Diskusi Asik Jalin Jual Jalan Licin Menuju Global Tema: Pasar Seni (Redefinisi Go International) Senin, 13 Juni 2016 14:30 - 17:30 WIB RumahIVAA. Gang Hiperkes 188 A-B, Jl. Ireda, Keparakan, Yogyakarta. (Live Streaming bit.ly/roemansa ) PEMBICARA Rully Shabara (Musikus, praktisi musik, berkarya di Zoo, Senyawa, Raung Jagat) Ismail Basbeth (Sutradara, praktisi film. Beberapa karyanya Another Trip to The Moon, Mencari Hilal) PENANGGAP Irham Anshari (Penggemar Film dan Peneliti SOAP: Study On Art Practice) MODERATOR Aris Setyawan (Divisi arsip Roemansa Gilda)
GRATIS. KUOTA TERBATAS. INFO & RESERVASI: 081285724172 (UCUP) Disediakan Takjil untuk berbuka puasa.
Banyak seniman memimpikan jalan indah go international, menganggap pasar seni internasional adalah surga bagi kemapanan estetika dan berujung pada keuntungan finansial. Barat (baca: Amerika, Eropa, atau negara dunia pertama lainnya), selalu menjadi parameter kesuksesan. Secara sederhana istilah go international mungkin bisa diartikan sebagai "mendunia". Demi mendapatkan pengalaman (atau predikat?) mendunia ini tidak sedikit seniman yang rela mengeluarkan begitu banyak sumber daya baik tenaga mau pun nominal. Bahkan dalam wilayah lebih luas, negara pun selalu menggelontorkan begitu banyak dana untuk mengirimkan delegasi kesenian dan kebudayaan ke negara-negara dunia pertama, dengan harapan ini mampu menjadikan kesenian Indonesia mendunia. Go international. Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan menggelitik sambil bertanya pada diri sendiri: bagaimana kita memaknai go internasional atau mendunia ini? Bagaimana posisi kesenian kita di hadapan rezim go internasional ini? Kenapa sampai sekarang negara dunia pertama masih menjadi patokan ketika membicarakan go international atau mendunia? Selain redefinisi go international, hal menarik lain yang bisa diperbincangkan terkait isu ini adalah bagaimana negara bekerja dalam mewadahi para seniman dan proses kreatifnya. Sementara negara hanya sibuk mengirim berbagai delegasi seremonial. Bukankah perubahan nyata lebih sering terjadi ketika diinisiasi oleh para seniman secara mandiri di level akar rumput. Namun sejauh mana kita juga bisa mandiri? Pergerakan Ismail Basbeth di kancah montase adalah contoh menarik. Di luar filmnya Mencari Hilal yang masuk jaringan bioskop nasional, beberapa filmnya telah diputar di festival film internasional mulai dari Busan, Rotterdam, Sydney, Tokyo, hingga Vladivostok. Lain lagi Senyawa. Duo eksperimental yang sering wara-wiri tur ke belahan dunia lain dan merilis album via label Eropa ini sempat dikabarkan menolak tawaran dari label rekaman legendaris Sub Pop (AS). Ini menunjukkan bahwa dengan bergerak sendiri, tanpa perlu rumitnya birokrasi negara, Senyawa berhasil menunjukkan tajinya. Dalam seri Diskusik (Diskusi Asik) kali ini Roemansa Gilda bekerjasama dengan Indonesian Visual Art Archive (IVAA) mencoba merefleksikan wacana "go international". Dua pembicara Rully Shabara (musikus) dan Ismail Basbeth (Sutradara) akan membicarakan pasar seni secara luas dan fenomena go international sesuai pemahaman dan pengalaman mereka. Agar diskusi makin menarik pendapat kedua pembicara akan ditanggapi oleh Irham Anshari (Penggemar Film dan Peneliti SOAP: Study On Art Practice). Irham yang kini aktif bergelut di dunia kajian kritis soal praktik seni di Indonesia, memiliki pandangan yang juga tidak kalah menarik menyikapi maraknya wacana go internasional dan kosmopolitanisme. Cara pandanganya yang kritis dan menyeluruh bisa kita jadikan sebagai pintu masuk dalam merefleksikan serta melontarkan kritik pada dunia seni yang tidak pernah lepas dari tuntutan menjadi bagian dari dunia global serta globalisasi.
|
No comments:
Post a Comment