Tuesday, January 12, 2016

Pameran: FastForward


Undangan Pameran
View this email in your browser
Akiq AW, Photographic Time and Motion; Still Life, video 3 channel, 2010

Mengundang Anda untuk menghadiri:

Exhibition / Pameran


FASTFORWARD
An Exhibition with Video Works / Pameran Karya Video

Akiq AW | 
Cahyo Prayogo | Eldwin Pradipta | Hanura Hosea | Muhammad Akbar | Popok Tri Wahyudi | Restu Ratnaningtyas | Terra Bajraghosa | Zulhiczar Arie

Opening / Pembukaan
19 January 2016, 7.30 PM

Exhibition / Pameran
19 January – 7 February 2016

Rumah Seni Cemeti / Cemeti Art House
Jl. D.I. Panjaitan 41 Yogyakarta


Pasca reformasi '98 menjadikan medan sosial Indonesia bak ladang subur bagi bertumbuhnya media massa yang disirami oleh proyeksi demokrasi yang sebenar-benarnya. Kanal arus bebas bicara terbuka lebar-lebar secara seketika, publik yang direpresi tak boleh bebas berbicara sekian lama pun mengalami eforia. Kuat gelombangnya tak terprediksi dan hampir-hampir tak terkendali. Laju percepatan reproduksi sosial masyarakat Indonesia menyambut evolusi dan perkembangan teknologi media, yang menyajikan kemungkinan diciptakannya berbagai macam kanal-kanal kecil baik bagi distribusi dan konsumsi informasi. Perkembangan teknologi media komunikasi di medan sosial telah membelah dan membagi-bagi aliran arus besar bebas bicara pasca reformasi, sekaligus menyajikan pilihan menu topik spesifik dalam praktek konsumsi media, dan membentuk segmen-segmen publik baru.
 
Hingga saat ini, televisi masih menempati posisi paling favorit bagi masyarakat kita dalam praktek konsumsi media. Tidak lagi harus mengisi ACCU setiap dua minggu sekali, dan atau melawat ke rumah tetangga terkaya di desa untuk menyaksikan tayangan layar kaca. Hampir setiap ruang keluarga kini dihiasi oleh layar kaca, yang kemudian menjadi situs penting bagi ritual keseharian mereka: nonton TV. Ritus tersebut bahkan kini menjadi sangat personal, berdasarkan pada kebutuhan dan selera masing-masing anggota keluarga. Tidak semua anggota keluarga menyukai satu tayangan yang sama dan hampir tidak mungkin nonton TV bersama; bapak wajib nonton Liputan 6, ibu tak mau ketinggalan Tukang Bubur Naik Haji, kakak gemar Hot Kiss, Ipin dan Upin adalah teman fantasia adik bermain setiap sore.
 
Layar seakan tidak lagi merupakan sekat antara alam sehari-hari dan alam representasi. Selama layar masih memuat  sosok, gerak, suara, cerita, dan peristiwa yang menggerakkan aspek-aspek emosional, maka semua itu menjadi realita kedua dari alam sehari-hari. Jalinan sosial imajiner antara pemirsa dengan apa yang ada di dalam layar tidak hanya membentuk imaji-imaji baru, namun realita sosial baru, kontrak sosial baru. Melalui jalinan-jalinan inilah berbagai macam kepentingan sosial, ekonomi, politik memberlangsungkan lenggang interpelasi; memperebutkan, memanggil, merayu segmen-segmen pemirsa sebagai individu agar secara suka rela masuk ke dalam peluk buai kuasa hegemoni[1].
 
Marina Camargo Heck meminjam nalar Poulantzas untuk mempertajam pandangannya bahwa hubungan sosial imajiner – di dalam hal ini adalah representasi yang ada di dalam layar dengan pemirsa – di dalam praktek fungsi sosial yang nyata tidak bisa diturunkan sebagai problematika alienasi dan kesadaran palsu. Terdapat surpulus nilai tersembunyi dari persepsi spontan yang lepas dari tingkatan yang terdistorsi. Hal itu merupakan tingkatan kedalaman struktur 'invisibel' dan 'unconscious', yang secara simultan membentuk kesadaran persepsi spontan kita[2].  Untuk menemukan logika relasinya, kita tidak bisa hanya menerawang pada wacana media secara global. Bukti-bukti relasi justru berkelindan di dalam praktek-praktek hidup paling sederhana dan sehari-hari, misalnya di dalam kegiatan nonton TV dan peristiwa-peristiwa domestik di sekitar layar.  Tidak bisa lagi diingkari, perangkat layar memiliki dominasi yang luar biasa dalam membentuk opini, selera, gaya hidup, dan bahkan ideologi turut dibentuk olehnya. Dengan kata lain, layar turut menentukan bentuk masyarakat, kelas-kelas sosial baru. Apakah dengan demikian kita masih bisa menganggap bahwa apa yang ada dilayar adalah sekedar ilusi?
 
Rumah Seni Cemeti berupaya melihat kembali relasi sosial imajiner antara layar, 'yang ada di dalam layar', publik dan percepatan reproduksi sosial melalui proyek pameran video  bertajuk 'FastForward'. 'FastForward' akan menampilkan karya-karya video dengan pendekatan yang paling 'tradisional', dimana layar –dalam pengertian bidang datar audio visual- akan menjadi lokus tanda yang akan dibaca, situs ritus menonton, ritus mendiskusikan yang ditonton. Melalui karya-karya terpilih dari sembilan seniman akan muncul berbagai macam kontras pendekatan, interprerasi, penerjemahan atas tema yang ditarik ke dalam logika bahasa visual, waktu dan frekuensi tersendiri, yang akan membantu kita dalam membangun kesadaran layar.
 
(1) Louise Althusser, Ideology and Ideological Stage Apparatuses (Note towards an Investigations), hlm. 145.
(2) Marina Camargo Heck, The Ideological Dimensi of Media Messages di dalam the Taylor & Francis e-Library, 2005, hlm. 110-116.
 
didukung oleh:
           
Copyright © 2016 Cemeti Art House, All rights reserved.

Cemeti Art House / Rumah Seni Cemeti
Jl. D.I. Panjaitan 41, Yogyakarta 55143
Open: 09.00 - 17.00, Closed on Sunday & Monday
Telp/Fax. +62 (0) 274 371015
M. +62 (0) 812 273 3564

Anggota Koalisi Seni Indonesia / Member of the Indonesian Arts Coalition
www.koalisiseni.or.id

Share
Tweet
Forward






 


No comments:

Post a Comment